22.3.08

Alami Belum Tentu Aman

KETIKA pengobatan modern semakin mahal dan tidak selalu berujung pada kesembuhan, obat-obatan herbal semakin banyak dilirik orang. Meski begitu, sebaiknya tetap hati-hati. Walaupun terbuat dari bahan alami, herbal juga bisa membahayakan bila dikonsumsi sembarangan. Simak beberapa kasus ”kecelakaan” akibat minum obat-obat herbal.

Di sebuah seminar tentang tanaman obat di Universitas Indonesia awal tahun lalu, Eko, bapak berusia 50-an tahun, bercerita tentang pengalamannya dengan herbal.

Setelah minum ramuan mahkota dewa, ia pingsan. Usut punya usut, Eko yang ingin sembuh dari penyakit hipertensi ini merebus lima buah mahkota dewa berikut bijinya. Air rebusan itu lalu dia minum banyak-banyak dengan harapan penyakitnya cepat sembuh. Ia pingsan karena tekanan darahnya turun drastis.

Prapti Utami, dokter yang menekuni pengobatan herbal dan tergabung dalam Perhimpunan Dokter Indonesia Pengembang Kesehatan Tradisional Timur, menuturkan pengalaman lain yang dialami pasiennya sebelum akhirnya ditangani Prapti.

Pasien yang masih remaja itu juga pingsan gara-gara ikut-ikutan ibunya minum ramuan jati belanda untuk melangsingkan badan. ”Dia punya masalah dengan mag, sementara jati belanda punya efek mengiritasi lambung,” kata Prapti.

Ia mengingatkan, meskipun terbuat dari bahan alam, herbal juga mengandung zat kimia aktif seperti obat-obatan kimia umumnya. Karena itu, penggunaan herbal sebaiknya dikonsultasikan dengan dokter yang mendalami masalah herbal.

Prapti mencontohkan, daun ungu sebagai bahan baku herbal memiliki kandungan flavonoid yang berfungsi mematikan bakteri. Daun ini juga memiliki kandungan steroid alami yang berguna untuk antiperadangan dan juga mengandung alkaloida untuk melunakkan tinja.

Perlu diagnosis

Herbal tidak bisa diminum sembarangan karena respons tiap individu bisa berbeda satu sama lain. ”Meski punya keluhan sama, belum tentu herbal yang diberikan cocok antara satu pasien dan pasien lain,” kata Prapti.

Karena itu, sebelum memberi pengobatan herbal, dokter akan mendiagnosis lebih dulu penyakit pasien. Seperti pengobatan umumnya, diagnosis ini ditegakkan melalui wawancara dengan pasien, pemeriksaan fisik, dan kalau perlu diadakan pemeriksaan laboratorium atau radiologi.

Dari diagnosis ini akan diketahui riwayat kesehatan pasien dan risiko reaksi interaksinya terhadap herbal. ”Diagnosis ini perlu dilakukan karena metabolisme tubuh masing-masing individu berbeda,” lanjut Prapti.

Mencari dokter yang mendalami soal herbal tidak lagi sulit. Sekarang banyak dokter yang menggabungkan ilmu kedokteran dengan pengobatan herbal. Selain klinik-klinik herbal, di beberapa rumah sakit, seperti Rumah Sakit Dokter Soetomo Surabaya atau Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, juga sudah membuka pengobatan herbal. Di Purwakarta, Jawa Barat, juga sudah ada rumah sakit khusus herbal.

Herbal juga memiliki efek samping seperti obat-obatan kimia. Efek samping yang muncul bisa bermacam-macam, seperti diare, tubuh gemetar, tekanan darah turun drastis, mual, atau pusing. Jika muncul efek samping semacam itu, kata Prapti, pasien harus segera berkonsultasi dengan dokter.

Menurut Prapti, biasanya satu herbal dikonsumsi bersama dengan herbal lain untuk saling melengkapi atau mengurangi efek samping. Misalnya, jati belanda yang biasa digunakan untuk pelangsing memiliki efek samping mengiritasi lambung. Karena itu, konsumsi jati belanda harus bersamaan dengan temulawak atau kunir putih untuk mengurangi iritasi lambung.

Patut diingat, selama pengobatan, baik dengan herbal maupun obat buatan, sebaiknya pasien minum dua liter air per hari. Ini untuk membersihkan ginjal. ”Sebenarnya, tanpa minum herbal pun kita tetap harus minum banyak untuk kesehatan ginjal,” tutur Prapti.

Butuh kesabaran

Mencari kesembuhan dengan pengobatan herbal adakalanya dibutuhkan kesabaran. Pasalnya, tidak seperti obat-obatan kimia, pengobatan dengan herbal ini membutuhkan waktu relatif lebih lama. ”Justru kalau ada obat herbal bisa cespleng (langsung sembuh), kita patut curiga,” kata Ida Marlinda, peneliti obat di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Menurut Ida, herbal yang cespleng biasanya dicampur dengan bahan kimia obat (BKO) tertentu. YLKI pernah menerima pengaduan seorang ibu di Kalimantan. Ibu itu ingin anaknya yang kurus karena susah makan jadi doyan makan dan bertambah gemuk. Si ibu lalu membeli jamu kemasan penambah nafsu makan.

Dalam waktu satu bulan, anaknya benar-benar menjadi gemuk dan berat badannya bertambah lebih dari 3 kilogram. ”Ternyata herbal itu dicampur steroid,” kata Ida. Tidak berapa lama, anak itu mengalami moonface (wajah membulat).

Ada juga kasus seorang anak berpenyakit asma tiba-tiba sembuh setelah minum jamu yang dikemas praktisi pengobatan tradisional. Setelah diteliti, jamu itu mengandung tetrasiklin (antibiotik). Jadi, sebaiknya memang tidak sembarang membeli obatobatan herbal.

Source : Kompas.com

No comments: