26.3.08

Gairah Sang Cinta

GARA-GARA kekurangan cinta, tak sedikit orang jadi patah hati, melukai diri sendiri atau orang lain, bahkan nekat bunuh diri. Sungguhkah demikian halnya? Lantas, apa efek gelombang cinta bagi kita?

Dongeng anak-anak tentang Si Cantik dan Si Buruk Rupa (Beauty and the Beast) telah diceritakan turun temurun berabad-abad lamanya dengan beragam variasi versi sesuai daerah atau negara. Si Buruk Rupa sejatinya adalah seorang pangeran yang dikutuk menjadi seekor monster.

Dalam cerita versi film animasi produksi Disney, kutukan monster itu bakal hilang ketika dia bisa mendapatkan cinta sejati dari seorang gadis. Karena itu, ketika Si Cantik menyatakan cinta pada Si Buruk Rupa dengan berurai air mata, kutukan pun kontan lenyap dan menjelmalah ia pangeran yang rupawan.

Dongeng anak-anak itu sebenarnya bukan khayalan semata. “Di balik dongeng itu ada kebijakan tradisional yang menguraikan bagaimana pengaruh setrum cinta dalam mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang baik,” ujar Nilam Widyarini, psikolog dan dosen di Universitas Gunadarma Jakarta, yang tekun meneliti soal cinta dan spiritualitas.

Ilmuwan modern sekarang sudah percaya akan khasiat setrum alias gelombang cinta dan getol melakukan penelitian. Jurnal Neuroendrocrinology Letters Vol. 26 tahun 2005 menerbitkan tulisan ilmiah yang tegas menyatakan bahwa cinta baik untuk kesehatan fisik dan mental. Fungsi reproduksi dan perilaku seksual hanyalah merupakan satu aspek dari cinta.

Konsep cinta yang dimaksud di sini terdiri dari komunitas, dukungan sosial, kesehatan, dan kelangsungan hidup. Dukungan sosial sudah banyak diteliti memiliki manfaat untuk kesehatan. Ketiadaan interaksi sosial dan kurangnya keterlekatan sosial itu terkait dengan penyakit mental dan fisik. Keterlekatan sosial ini ternyata bermanfaat untuk mengobati atau mencegah penyakit depresi atau bahkan autisme.

Meditasi Cinta

Cinta dan kasih sayang juga terbukti bermanfaat mengurangi stres. Meditasi cinta dan kasih sayang sudah dipraktikkan selama berabad-abad dalam tradisi Budha untuk mengembangkan cinta dan mengubah kemarahan menjadi cinta kasih. Dalam sebuah penelitian awal, meditasi cinta kasih yang diberikan selama delapan pekan terbukti bermanfaat mengurangi rasa nyeri kronis, mengurangi tekanan psikologis dan kemarahan.

Lebih jauh dalam jurnal itu juga dijelaskan bahwa emosi-emosi positif, cinta kasih, dan kebahagiaan membantu kita saat menghadapi kesulitan hidup dan mengalami stres. Cinta kasih dan kebahagiaan membantu sistem kekebalan tubuh berfungsi lebih baik dan membantu memerangi penyakit. Selanjutnya cinta juga yang akan menguatkan kemampuan tubuh untuk memperbaiki dan menjaga kesehatan tubuh, termasuk juga menyembuhkan diri sendiri (self healing).

Lebih menakjubkan lagi, jurnal itu juga membeberkan bahwa cinta dan pengalaman menyenangkan itu bahkan menstimulasi perkembangan pribadi menjadi orang yang lebih baik. Sayangnya, tak semua anak manusia di dunia beruntung bisa merasakan cinta kasih yang menyembuhkan dan menyehatkan itu. Lebih banyak orang yang mengalami hal-hal menyakitkan dan celakanya malah membagi kesakitan itu dengan orang lain.

Dalam praktiknya, Nilam sering menjumpai kasus anak bermasalah gara-gara merasa ditolak dan tidak dicintai. “Secara tidak sadar orangtua memakai kacamata sendiri dalam menilai dan berkomunikasi dengan anak. Anak dipaksa harus patuh. Mengungkapkan ide kepada orangtua jadi susah. Akibatnya anak merasa ditolak dan tidak dicintai,” tutur kandidat doktor dari Universitas Gadjah Mada ini.

Apa akibatnya jika anak merasa kekurangan dan tidak mendapatkan sentuhan cinta? Menurut Nilam, pengalaman tidak dicintai semasa kecil ini akan terbawa terus hingga dewasa jika tidak diselesaikan. “Jika kekurangan, bagaimana dia bisa membaginya kepada orang lain? Dia hanya bisa memberikan cinta kepada orang yang dapat menerima dirinya,” kata Nilam.

Dalam banyak kasus, teman-teman lebih bisa menerima dibandingkan orangtua. Bila teman adalah pecandu narkoba, jangan heran kalau anak ikut jadi pecandu. Akibat Defisiensi Sebetulnya banyak tanda yang dapat kita kenali tentang orang yang mungkin mengalami difisiensi atau kekurangan cinta kasih. Antara lain suka menarik diri, sulit berbagi dengan orang lain, ketus, kasar, mementingkan diri sendiri, kaku, mudah curiga, dan lain-lain. “Kalau ada pekerjaan lain lebih baik pindah deh, soalnya bos sering menyakiti. Saya pernah dicubit dan dilempar gelas hanya gara-gara melakukan kesalahan kecil,” ujar seorang karyawati bagian public relatios.

Kehidupan perkawinan yang berantakan tanpa ada pengisi kekosongan hati boleh jadi merupakan penyebab tindakan kekerasan fisik yang dilakukan pemilik kantor itu.

Ada lagi karyawan yang cukup tertekan di tempat kerja karena sering mendapat kekerasan verbal dari atasannya. “Setiap pagi dia selalu marah-marah,” ungkap profesional muda ini. Memukul, mencubit, mengucapkan kata-kata kotor dan menyakitkan itu menjadi bagian dari suasana harian kantor.

Celakanya sang bos bilang bahwa itu merupakan bentuk pernyataan cinta! Bagaimana mungkin cinta bisa menyakiti? Boleh jadi bos ini mendapatkan pelajaran “cinta” yang salah dari orangtuanya, mungkin juga perkawinannya yang kebetulan kacau balau itu yang membuatnya menjadi seperti itu, atau mungkin ada pengalaman penolakan lain yang membuatnya tidak kecukupan cinta.

Sejak dalam Kandungan Pengalaman cinta pada mamalia dan manusia terekam dengan baik di bagian otak bernama limbik. “Di sinilah pusat rasa, mengasihi, mengasuh,” sebut Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik dari True Nature Holistic Healing Jakarta.

Bagian otak ini sudah merekam semua pengalaman cinta sejak bayi dalam kandungan hingga seseorang berumur enam hingga tujuh tahun. Setelah itu anak mulai bersekolah dan bagian neokortek di otak yang mengatur logika mulai aktif. Dari dalam kandungan hingga tujuh tahun itu, seorang anak mengalami apa yang disebut resonansi limbik.

“Mungkin orang lain menyebutnya sebagai sebuah intuisi. Bahwa apa yang terjadi atau pengalaman pada otak bapak dan ibunya terjadi juga pada anak meski dia tidak melihat. Apa pun yang dialami orangtua, baik itu mengelus ataupun memukul dan berkata kasar, semua dianggap sebagai pengalaman cinta sebab anak belum bisa membedakan,” kata Reza.

Nah, ketika anak beranjak dewasa, secara tidak sadar ia mengekspresikan rasa cinta itu seperti yang dia terima ketika kecil. “Bisa saja dia memukul orang lain. Secara logika itu tidak benar, tetapi dari alam bawah sadar yang dipelajari ketika kecil, memukul adalah sebuah ekspresi cinta,” paparnya.

Perlu Terapi

Karena sudah tertanam begitu dalam di otak, mengubah ekspresi cinta yang penuh kekerasan menjadi lebih baik itu tidak bisa dengan sekadar dinasihati. “Dia butuh terapi, psikoterapi, penyembuhan trauma, meditasi untuk mengalihkan panca indra menjadi melihat ke dalam dan membuat respon perubahan untuk melepaskan trauma dan luka batin.

Terapi itu ditujukan untuk membongkar memori sedari awal dan membuat pilihan menjadi perilaku cinta yang benar,” papar Reza, yang memberikan terapi untuk sejumlah selebriti Indonesia ini. Dalam memberikan terapi untuk anak-anak yang merasa tidak dicintai sehingga perilakunya bermasalah, Nilam memberikan pancaran gelombang cinta untuk mereka.

“Anak harus percaya bahwa dirinya disayang, ada sentuhan pribadi, terbuka, dan ada pancaran kehangatan cinta,” ujarnya. Hubungan yang hangat dengan kliennya itu digambarkan seperti hubungan guru dan murid sufi yang erat terikat oleh gelombang cinta.

Setelah itu, ia akan mengajarkan kepada orangtua si anak, bagaimana cara memancarkan gelombang cinta kepada buah hati mereka tercinta. Harap maklum, meskipun bilangnya cinta, tak semua kita tahu dan mampu bagaimana seharusnya mencintai.

Hati yang Menerima

Perasaan serba kekurangan cinta merupakan akar semua masalah cinta. “Mengharapkan orang lain mencintai kita merupakan formula yang pasti gagal. Lebih runyam lagi ketika seseorang merasa kekurangan cinta lalu menyalahkan orang lain. Gue jadi kekurangan cinta karena lu nggak mencintai gue,” ungkap Reza Gunawan.

Hal seperti itu menurut Reza tidak akan terjadi jika seseorang mampu menerima diri sendiri. Banyak masalah yang sebetulnya tak perlu diributkan dalam sebuah relasi cinta, jika masing-masing sudah memiliki cinta diri yang cukup.

“Kenapa seseorang jadi pencemburu? Kita sering menyebutnya karena cinta. Padahal, itu dibungkus oleh perasaan takut ditinggal. Kenapa? Karena takut sendiri dan merasa tidak lengkap. Kenapa begitu? Karena tidak cukup cinta yang ada pada diri sendiri,” ujarnya.

Cinta dan penerimaan diri juga dinilai oleh Nilam Widyarini sebagai aspek penting dalam penyembuhan luka batin akibat ditolak dan tidak dicintai. “Anak, dan kita semua sebetulnya, harus diterima apa adanya, tidak dihakimi, tidak dianggap aneh,” katanya.

Ia pernah menangani kasus seorang anak yang tidak bisa menemukan kebaikan dalam dirinya karena begitu sering menerima kekerasan secara verbal. Pelan-pelan psikolog ini membantu si anak melihat kebaikan dalam dirinya dan menerima diri apa adanya.

Mendapatkan cinta yang cukup dalam diri itu, menurut Nilam, bukan perkara yang sulit buat orang yang percaya akan Tuhan. “Sebab Tuhan adalah sumber cinta kasih,” sebutnya. Pancaran gelombang cinta yang kuat dalam diri seseorang itu akan membagi cinta ke lingkungan di sekitarnya.

Orang ini juga tidak akan terganggu dengan kurangnya gelombang cinta di lingkungannya. Cinta yang ada di dalam diri itu dapat diperkuat setiap hari dengan menerima diri apa adanya dan menerima bahwa umat manusia adalah bagian dari alam semesta, sebagai sebuah kesatuan yang harmonis. “Dengan demikian pasokan cinta di dalam diri seseorang tidak akan pernah habis,” kata redaktur khusus Tabloid Gaya Hidup Sehat ini.

Source: Gaya Hidup Sehat

No comments: